Temui Aku di Sini

Namanya Juga Hidup

Bertindak seperti pahlawan itu cukup melelahkan. Lelahnya seperti sesuatu yang dihasilkan oleh pekerjaan. Beda dari keduanya, lelah dari bertindak seperti pahlawan didasarkan pada kesadaran, sedang lelah dari suatu pekerjaan didasarkan pada tuntutan. Sebagaimana tuntutan, sadar tidak sadar perlu dikerjakan.

Pembeda yang lain mungkin adalah tentang bertuannya tindakan tersebut. Menjadi pahlawan bertuankan diri sendiri, sedangkan bekerja bertuankan orang lain. Itulah kenapa seringkali saya sebut orang tua yang petani adalah pahlawan, sebab mereka bertuankan diri sendiri dalam mengelola penghasilannya dari tanah. Kadang saya ingin seperti mereka, bertani, hidup dengan kerja keras yang tidak melibatkan orang lain dalam kekerasan, intimidasi dan memperebutkan hasil yang seharusnya tidak untuk didapat. Maksud saya, merebutkan hasil yang tidak sesuai dengan hasil sesungguhnya dari pekerjaan. Menjelaskan soal hasil dari perebutan ini saya cukup kerepotan, beberapa definisi dalam kalimat serasa kurang pas meski ditulis dengan redaksi yang berbeda. Dari saking tidak patutnya dilakukan.

Soal menjadi petani, saya beberapa kali pernah membicarakannya dengan orang tua bahwa anaknya ini ingin menjadi petani saja. Pembicaraan itu selalu berakhir dengan nada tak rela. Meski isinya hanya sekitar keluhan, "Duh, kuat, ya, nak? Panas tak menemukan tempat berteduh, hujan kedinginan, dan kulitmu yang hitam akan menyerupai arang. Lagi pula, apa gunanya kamu sekolah sampai sarjana?"

Pembicaraan yang dimenangkan secara telak oleh orang tua.

Saya tidak bisa mengatakan "tidak" dengan menjelaskan bahwa, sekolah itu untuk menambah pengetahuan, soal pekerjaan urusan lain. Mereka, si orang tua, kadang perlu diingatkan kembali, bahwa anaknya sudah dari kecil mengenal pekerjaan; mengangkut air setiap sore dan pagi dari sumur, baik sebelum berangkat atau sepulang sekolah agar cukup untuk minum dan memasak; mencari pakan sapi; memanen hasil kebun dan kadang ikut membajak sawah. Itu semua pekerjaan, dan sudah didapat meski sambil sekolah. Lalu untuk apa sekolah agar mendapatkan pekerjaan? Sayangnya, orang tua saya tidak pernah secara terang mengatakan, "sekolah lah agar mendapat pekerjaan." Kalimat mereka hanya sedikit mirip saja, "Sekolah, nak, yang rajin, agar tidak seperti kami." Agar tidak seperti mereka? Yang benar saja, saya lahir dari jerih payah mereka. Lalu akan sangat durhaka bila saya tidak tahu rasanya mereka memperjuangkan hidup. Akan tambah durhaka bila menjadi penganut materialisme, sedang orang tua saya tidak pernah mengenal nama makhluk pemalak tersebut. Sungguh, bagi saya materialisme adalah pemalak sejati, sebab kebanyakan yang didapat tidak sesuai dengan yang dikerjakan.

Berusaha menjadi tidak materialisme. Ini usaha yang sulit. Sulit sebab kadang pekerjaan menuntut hal tersebut. Tentu, kau menolak, siap-siap didepak. Tidak mau mengikuti sistem, digeser secara perlahan dari tempat duduk yang dikira sudah nyaman. Ya, meski tidak ada istilah nyaman sejati dalam sebuah pekerjaan. Tapi setidaknyaman apa pun pekerjaan, karena saya hidup di negara yang tidak kenal rugi, pekerjaan syusah bin syulit tetap sebagai suatu keberuntungan karena tidak seperti mereka yang mengantri berjam-jam melamar pekerjaan. Di negara ini, orang celaka hilang salah satu anggota badannya pun, masih suatu keuntungan karena dia tidak mati. Seumpama mati pun, itu suatu keuntungan agar dia tidak hidup cacat. Sungguh prinsip tak kenal rugi.

Semakin tua, yang saya lihat dari harta adalah mimpi yang melebihi imajinasi. Sebab ada orang yang kekayaannya setara pulau, tapi tidak pernah memegang pulau tersebut. Memiliki angka 100.000.000 di buku akun bank, dianggap harta oleh kebanyakan orang. Padahal definisi harta adalah sesuatu yang dimiliki, sesuatu yang dimiliki itu hak, dan suatu hak harus berada dalam jangkauan genggaman, kelihatan oleh mata, bentuk serta bisa dirasakan sifatnya. Selama ini, saya belum pernah mendengar ada orang yang mengaku memiliki angin. 

Pernah saya mendengar kalimat, "untuk membersihkan uang kotor, tinggal masukkan ke bank. Semua uang yang keluar dari bank adalah bersih." Mungkin hal itulah yang membuat definisi tentang harta dan pemahaman saya soal harta menjadi kabur. Ada orang memiliki mobil, tapi dia meminjam uang yang melebihi harga si mobil ke bank dengan memberi jaminan atas mobil. Dan orang tersebut merasa berharta.

Tapi bila saya hidup di desa dan berbaur dengan petani, pemahaman saya soal harta cukup jelas. Tak tergoyahkan. Tentu pemahaman tersebut hanya bertahan di desa, ketika di kota, kembali kabur.[]



Labels: 2021

Terima kasih telah membaca Namanya Juga Hidup. Kalau Anda suka, bagikan!

0 Comment for "Namanya Juga Hidup"

Back To Top