Temui Aku di Sini

Tentang Penguasa

Manusia terdiri dari sifat ingin menguasai dan membudak. Dua sifat yang berlawanan itu dimiliki siapa saja, terutama penguasa yang duduk di kursi parlemen serta di partai-partai itu. Kekuasaan tak lepas dari penuhanan terhadap materi. Anggaplah mereka adalah pemuja materialisme, yang dengan uang semua dapat digenggam, katanya. Kalau semua hal bisa dibeli dengan uang, jadi apa bedanya kehidupan ini dengan pasar? Kita, tentu selalu berdagang setiap saat, tanpa kita ketahui, baik itu berdagang kebaikan, memampang wajah terbaik di media sosial, menebarkan kata-kata bijak, dan sebagainya. Memang tidak menghasilkan uang, tapi itu perilaku yang dominan agar diakui, inilah aku yang paling berkuasa.

Rupanya, kekuasaan tidak hanya pada mereka yang memiliki kekayaan melimpah, tapi juga bagi mereka yang memiliki kekuatan lebih, walau dipikir-pikir yang punya uang banyak tampak kuat dalam segala hal. Manusia memang demikian, tidak ada matinya kalau berbicara kekuasaan. Namun yang menjadi titik kontras di sini adalah kebalikan dari ambisi ingin menguasai itu, saat bersamaan pula tanpa sadar mereka menjadi budak dari kekuasaan itu sendiri. Sekarang keadaan seperti berbalik. Tepat benar, bahwa kehidupan sudah ada di ujung waktu menuju kiamat. Semua wajar dilakukan, manusia bertuhan pada benda, berkuasa sekaligus dikuasai. Bahkan mungkin dajal adalah bagian dari materi yang disembah-sembah itu.

Sekarang hal yang sebenarnya lebih buruk dari sekadar bertelanjang di tempat umum adalah kekuasaan. Satu kata itu masih membingungkan kalau ditanyakan definisinya apa. Kekuasaan menurut kamus besar kita adalah kemampuan atau kesanggupan untuk mengurus. Lah, sekarang apa kita mendapati hal itu? Kita diurus? Tidak, kekuasaan yang sekarang tak ada dalam kamus. Mereka yang memiliki wewenang sewena-wena memberi kebijakan tanpa mempertimbangkan akibatnya. Ingat, sesuatu yang kita lakukan selalu memiliki timbal balik, karena semua yang ada di dunia ini berkesinambungan, seperti jaring laba-laba raksasa. Bahkan satu titik debu memiliki peran penting bagi adanya pijakan.

Bagi mereka yang berada di jalanan, tak penting membicarakan kekuasaan, mau kekuasaan itu busuk atau bagaimana, tidak ada hubungannya dan tak ada menariknya mengingat adanya kekuasaan. Demikian pikir mereka. Seakan-akan mereka bersumpah serapah, masa bodoh dengan kekuasaan. Mereka yang mengemis, hidup sengsara demi sesuap nasi, tak memiliki rumah, terabaikan seperti manusia yang terasing dari negerinya sendiri. Bagaimana saya tahu? Saya bagian dari mereka. Mereka tidak pernah bisa menuntut, karena mereka tidak tahu apa-apa. Mana ada telinga yang mau mendengarkan perkataan orang bisu? Mereka tidak bisu, hanya saja mereka tidak merasa tinggal di negeri mereka sendiri. Seharusnya itu adalah perhatian penting bagi pemilik kekuasaan. Saya berbicara kekuasaan dalam lingkup negara, atau kalau ada yang mau berpartisipasi, kalian yang merasa menguasai suatu aliansi atau kedudukan di daerah tertentu, cobalah pandang sekitar. Ada kalanya kita membuka jendela, tidak hanya mengurung diri dalam kamar. Kita tetap akan seperti ini dan akan mempercepat datangnya kiamat tanpa memerhatikan sekitar. Kepedulian amat penting untuk membuka mata mereka yang hanya tertuju pada uang. Tidak ada kata koruptor bagi saya, sebab koruptor lebih kotor dari maling. Bagi yang memegang kekuasaan dan yang duduk di kekuasaan, mereka yang maling dikatakan koruptor, dengan penghalusan bahasa seakan-akan itu hal yang lebih baik daripada maling. Tidak, sungguh tidak. Kita perlu mengubah bahasa penghalusan tentang pekerjaan kotor yang membuat menderita para petani, nelayan, anak yang keseharian menghabiskan hidup di trotoar, dan orang mati bunuh diri karena tidak bisa membayar sewa rumah. Ganti kata koruptor dengan kalimat Maling Penjilat.

Memang, mereka yang hidup di desa, yang pedagang serta penarik angkot tidak sadar bahwa semua hal menjadi sulit karena adanya Maling Penjilat itu. Bayangkan saja, bahan bakar menjadi mahal karena spekulasi harga untuk sebagian besar masuk kantong. Atau, biaya perbaikan jalan yang membuat pajak naik dengan alasan ini itu padahal adalah spekulasi untuk dimakan sendiri. Kita tidak pernah tahu, seakan-akan mereka yang mengatakan semua demi pembangunan itu adalah benar dan baik. Tidak, semua hanya pentas pertunjukan kecil untuk memainkan drama. Kehidupan mereka adalah drama. Di mana yang berkuasa seakan-akan baik dan peduli. Padahal ujung-ujungnya menindas. Dan tanpa sadar, mereka telah menjadi budak dari kekejamannya sendiri. Bagi yang diperbudak seharusnya sadar, tidak dengan rela hati dan seakan-akan pasrah dengan keadaan yang ada.

Di negeri ini tidak butuh supermen dan kawan-kawannya, kita hanya butuh aktor seperti di film Gabbar is Back yang rilis 13 April 2015 itu. Pahlawan amerika hanya membasmi kejahatan yang dampaknya tidak seberapa, padahal kejahatan yang dampaknya lebih kejam adalah Maling Penjilat tadi. Gabbar sebagai aktor utama membumi-hangus para Maling Penjilat. Kejahatan Gabbar yang mengarah pada para maling itu membuat fenomena suap menyuap menguap, tidak ada lagi maling anggaran, semua dengan kejujuran, atau Gabbar akan datang membunuh mereka yang tidak berbuat jujur. Gabbar bukan siapa-siapa, dia hanya profesor di universitas nasional india, tapi dia mampu memberi pengertian baru pada semua mahasiswanya, membuat perubahan pada negeri yang penuh maling dan ketidakjujuran menjadi negeri yang sejahtera. Walau pada akhirnya Gabbar dihukum mati atas kejahatannya, tapi bagi semua orang, dia adalah pahlawan. Memang, semua yang saya deskripsikan tadi terjadi dalam film, tapi apa salahnya kita menjadi pribadi seorang Gabbar? Kejam memang, tapi apa sebanding kekejaman itu dengan terlantarnya seribu jiwa? Apa sebanding dengan mereka yang memilih mati karena tak kuat dengan faktor ekonomi, buruh pabrik yang dianiaya dengan janji-janji, atau para petani yang bekerja keras tapi hanya memperoleh sekian dari hasil jerih payahnya? Apa sebanding?

Saya tidak mengajak kalian untuk membunuh para maling dengan cara menghempaskan nyawanya, tidak. Saya hanya berharap jiwa sebagai penguasa diluruskan, bahwa penguasa adalah mengayomi bukan menganiaya. Bahwa sifat maling itu perlu dihanguskan dengan ketinggian suhu jujur. Bakar sifat maling. Tanam sifat jujur.[]
Labels: 2017

Terima kasih telah membaca Tentang Penguasa. Kalau Anda suka, bagikan!

0 Comment for "Tentang Penguasa"

Back To Top