Temui Aku di Sini

Kepada Siapa

Panah Basah yang Menancapi Dada

Orang yang jarang atau bahkan tidak pernah beribadah, mungkin karena hidupnya dipenuhi pahala dan sedikit sekali dosa. Sebab, saya sendiri tidak sanggup meninggalkan ibadah sebab dosa terlalu banyak. Tentu, beribadah bukan untuk mendapatkan pahala, melainkan agar bisa menyeimbangi dosa-dosa tersebut. Saya tahu, barangkali susah untuk menyeimbangi antara dosa dan pahala, sebab bagaimana pun ibadah berlangsung, dosa tetap menyertai seperti tinta yang dituangkan di udara. Yang dihirup, dipikirkan, dan dirasa, adalah dosa. Padahal, manusia hidup hanya untuk beribadah dan melangsungkan hidup. Meski kadang terbersit tanya, "Sebetulnya untuk apa mempertahankan hidup, toh akhirnya mati?"

Bisa jadi saya adalah jenis orang yang ibadah jalan, dosa juga jalan. Bukan tidak tahu jenis dosa dan diri luput hingga melakukannya. Semua dikerjakan secara sadar. Tahu bahwa itu dosa, tapi tetap saja kesadaran untuk menahan selalu gagal. Kegagalan tersebut sering terulang. Penyesalan, tentu ada penyesalan setelah melakukan dosa tersebut.[]


Soal Nasi Saja Saya Suka Membahasnya

Saya tahu, setiap orang memiliki kriteria makanannya masing-masing. Tapi ketika ada orang yang mengatakan dirinya telah menanak nasi, sedang di dalam panci berisi beras matang yang lembek, saya menjadi tertekun. Nasi lembek, memang apa bedanya dengan bubur? Kalau memang bubur, mungkin saya bisa menghabiskannya satu piring, tapi nasi yang jadi-jadian itu tidak pernah sanggup saya habiskan. Sebab bagaimanapun, seharusnya ada ukuran nasi yang benar-benar nasi. Beras yang tidak terlalu banyak air atau kekurangan air saat memasaknya. Ukuran air yang pas, itulah nasi. Ukuran air berlebihan, itulah bubur. Ukuran air kurang, itulah rengginang.

Jelas saya tidak bisa memasak untuk orang yang suka memakan nasi lembek. Sebab itu tidak jelas nasi atau bubur. Tapi setidaknya, ada kriteria umum yang membuat semua orang sepakat soal rasa nasi, yaitu tidak jauh beda dari bentuk asal dari beras. Saya akan sangat enggan memakan nasi yang beraroma melati, pandan, atau jenis pengharum lainnya. Saya lebih suka bau alami dari beras, meski beras tersebut apek, sebab apek adalah bagian dari kriteria beras yang tidak terawat.

Begitupun soal menulis cerpen, tidak jauh beda dengan pandangan saya soal beras yang menjadi nasi tersebut. Saya tidak suka cerita yang terlanjur lembek, penuh air, atau gersang sama sekali. Sebab ada ukuran tersendiri untuk cerita, yaitu membuat pembaca penasaran dan selesai membacanya. Ukuran saya menulis cerita mirip dengan ukuran saya memasak, sebab itulah gaya yang saya suka, dan saya bisa menghabiskannya dalam satu porsi tanpa sebutir pun tersisa.

Entah sekarang ini banyak orang yang suka makan nasi yang menyerupai bubur, atau nasi yang seharusnya adalah nasi. Meski seharusnya, orang-orang menentukan pilihan mereka, mau memakan bubur atau nasi? Iya, jelas bahan dasarnya sama, beras. Tapi ukuran air yang dituangkan seharusnya bisa dipilih juga.[]


Saya Menggunakan Kata Aku 

Sesuatu yang aku miliki setelah ketidakpunyaan, itulah milikku. Sesuatu yang aku miliki setelah kepunyaan, itu milik orang lain. Hak dan yang berhak bisa kusingkirkan bila tak berguna lagi hakikat keberadaan. Kesemuan, kesementaraan yang seringkali disadari, seringkali pula terlewati oleh pikiran singkat yang diperkuat syahwat.

Orang lain boleh berkata mudah melakukan ketiadaan menjadi ada daripada memaparkan yang sudah ada biar lebih jelas eksistensi adanya. Orang lain juga boleh menyingkirkan yang kotor dan mengambil yang bersih, karena seperti itulah watak dasar manusia. Bila ada yang ingin mengambil kotoran dan membuang yang bersih untuk orang lain--bila pula ada yang melakukan ketiadaan meski sulit lalu memaparkannya seakan ada di benak orang lain, maka orang tersebut telah melewati batas tertentu dan boleh hidup di batas tertentu itu.[]



Labels: 2021

Terima kasih telah membaca Kepada Siapa. Kalau Anda suka, bagikan!

0 Comment for "Kepada Siapa"

Back To Top