Temui Aku di Sini

Manusia Sampah



Sampah, manusia tak lebihnya sampah. Itulah sebabnya kadang manusia suka nyampah, karena manusia sendiri adalah sampah. Dilarang membuang sampah adalah sesuatu yang bertentangan, jelas sampah sudah pasti nyampah.

Saya sadar adalah bagian dari sampah. Bukan berarti menghina manusia yang berarti menghina Tuhan. Sebab kenyataannya memang demikian, dari awal penciptaan saja tak lebihnya sampah. Baiklah, akan banyak sekali kata sampah dalam tulisan ini. Saya bocah yang juga suka membuat sampah ingin mengajak sampah yang lain untuk tidak lebih memperkuat identitas sampahnya. Karena jelas sekali, segala yang berhubungan dengan manusia sendiri selalu membuat kotor, dan kotor juga bagian dari sampah, mulai dari rambut yang terpotong, kulit, dan lebih jelasnya lagi saat manusia itu sendiri buang air besar. Tetap tak lepas dari identitas diri sebagai sampah.

Dan sampah memang seharusnya nyampah, tapi akan sangat miris kalau kesampahan itu dielu-elukan, apalagi dijunjung tinggi dengan wacana yang semakin menambah tawa. Selayaknya, katakanlah seharusnya, Puan dan Tuan sekalian tahu tempat sampah itu di mana. Saya sebagai yang sama, miris dan merasa tak enak mendapati sampah mencaci sampah. Bukankah Puan dan Tuan tidak begitu tahu kejadian yang sebenar-benarnya? Mengapa malah membenarkan dan menyalahkan si ini dan si itu?

Ampun, rupanya saya baru tahu bahwa manusia, terutama yang ada di Negeri ini, suka sekali pada hal yang nyampah dan mayoritas. Andaikata ada sekelompok orang makan api pasti semua makan api. Suka pada hal nyeleneh, yang sudah jelas itu nyleneh. Entah omong kosong apa. Tapi semua seakan rata berpendapat bahwa ini-itu pantas dijadikan pembicaraan hangat, sungguh diam lebih baik daripada menunjukkan identitas kesampahan. Oh ya, bagi siapa pun yang tidak terima masalah kalimat, manusia tak lebihnya sampah, silakan berdebat nanti saja.

Saya bocah sampah, tidak peduli dengan aliran kanan aliran samping atau aliran apa. Saya juga bukan bocah pintar yang bisa berkelit kanan berkelit kiri. Tulisan ini pun bukan untuk siapa dan siapa, sekadar untuk teman yang memandang sampah adalah berlian, syukur-syukur kalau ada pihak lain yang membaca.

Saya kadang bingung dengan apa yang ada di Negeri ini. Yang benar-benar penting manakah yang perlu diperhatikan? Tentang pembeludakan penduduk atau kehilangan penduduk? Tapi rupanya banyak sekali kerumitan-kerumitan yang berkelindan seperti sampah. Hal sepele yang membesar, apalagi raja-raja pengguna media sosial yang berwacana ini-itu tanpa mengetahui kepastian wacananya benar atau tidak. Jangan-jangan hanya sampah yang membusuk.

Jangan hanya karena tampilan luarnya berduri lantas menganggap dalamnya pahit dan tak enak, sebagian besar yang berduri dan ditakuti nikmat isinya. Duren dan nangka atau pun buah seperti salak memiliki kualitas rasa yang nikmat dibanding jeruk nipis yang kulitnya mulus. Sekarang tak perlu berdebat masalah si ini salah dan si itu benar, atau si itu aliran keras perlu dibasmi dan si ini aliran lembut perlu dilindungi. Sekali lagi saya bukan aliran ini-itu dalam agama atau kelompok, saya hanya menganut aliran nenek moyang yang mendarah di tanah kelahiran.

Tak keren sekali membahas sampah dengan sampah, atau membersihkan kotoran dengan kotoran. Negeri ini sedang gaduh, jadi jangan tambah dipergaduh lagi dengan sampah. Negara sebelah sedang sibuk dengan strategi pengambilalihan, kita sebagai manusia bangsa sibuk dengan wacana dan kesesatan yang terstruktur. Kasihan sekali sampah makan sampah.

Maaf Tuan dan Puan kalau dalam tulisan ini banyak sampah. Apa perlu saya perjelas sampah apa yang saya maksud? Ah, saya tidak seberani para penulis yang menggebu-gebu menyuarakan pikirannya dengan teori-teori sampah dan api untuk membakar pembaca. Saya tidak mau menyindir sesuatu yang tidak jelas, karena itu tak lebihnya pembenaran sampah pada sampah.

Catatan sampah bocah, 23 Januari 2017.
Labels: Renungan, Tentang Negeri

Terima kasih telah membaca Manusia Sampah. Kalau Anda suka, bagikan!

0 Comment for "Manusia Sampah"

Back To Top