Temui Aku di Sini

Surat Tua Pemberi Melati Cerpen Ali Mukoddas

Perempuan itu duduk di kursi dekat jendela kayu yang sedikit terbuka. Rembulan tampak temaram di balik jendela itu. Beberapa senggukan tangis terdengar memecah kesunyian. Sepasang mata memandang sendu lingkaran kuning yang bergelantung di balik awan.

“Mengapa sekarang, mengapa sekarang.” Berkali-kali perempuan itu bergumam. Tangan kanannya gemetar memegang selembar kertas. Sepasang mata itu basah, membiarkan buliran bening menghujam kertas itu. Beberapa kenangan melintas, membuatnya sesak. Bahunya berguncang. Mendekap mulut serapat mungkin, takut suaranya membangunkan lelaki yang tidur di belakangnya.

Satu jam berlalu, rasa itu dapat ia kendalikan. Kembali memandang lingkaran kuning yang tergantung di balik awan. Matanya kosong. Otaknya berpikir keras untuk memahami isi kertas itu, hal yang membuat ingatannya kembali, berkelebat menuju tahun 2005, tahun saat lagu topeng milik Peterpan bertebaran di mana-mana; di pematang sawah saat anak-anak berangkat sekolah, di kelas, di warung-warung pojokan. Tahun itu pula saat ia masih gadis berpenampilan sederhana, tanpa mekup, kulit gelap. Jelek.

“Ya Allah, buatlah hambamu ini cantik. Hamba ingin seperti mereka dengan kulit putih bersih. Bukan seperti ini,” doanya di malam itu, malam saat ia menemukan rasa berbeda sepulang dari sekolah di kota kecamatan. Malam itu ia benar-benar meratap. Bagaimana tidak, telah berbagai resep kecantikan ia ikuti, dari buku sepuluh langkah menjadi cantik, ramuan penghalus kulit, tapi tetap saja.

Semua berlalu begitu cepat. Sebulan kemudian dari malam saat ia menengadahkan tangan ke langit, keinginan itu seketika lenyap. Peduli amat dengan kulit gelap. Buku panduan kecantikan pun ia tinggalkan, menggantinya dengan buku seribu cara memikat laki-laki. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Ya, hari-hari di sekolah ia habiskan dengan mengikuti panduan buku itu. Dari bab pertama, cara memikat dengan pandangan ia coba. Tapi tidak sampai, ia sendiri tahu pandangan itu hanya akan membuat perasaan itu tidak suci, lagi pula itu tidak diperbolehkan oleh agama. Maka terlewatilah panduan pertama itu, beralih pada bab berikutnya, memikat laki-laki dengan mengambil perhatiannya. Hari itu ia benar-benar bisa melakukan hal itu. Mundar-mandir di hadapan pemuda yang membuatnya merasa berbeda. Pemuda itu memanggil namanya, panggilan yang membuat wajahnya merah padam.

“Dia tahu namaku?” bisiknya pelan sebelum menoleh. Mengibaskan kerudung putih yang membuat kulit gelapnya tampak kontras.

Sungguh tanggapan yang aneh. Pemuda itu memanggilnya bukan karena menaruh perhatian, melainkan karena mondar-mandirnya yang merusak pemandangan, ia malah merasa senang dengan teguran itu. Bab dua berhasil dengan baik, walau tidak benar-benar baik, umpatnya.

Tak perduli tanggapan teman kelasnya yang mengatakan, “tidak mungkin orang jelek gelap kumal sepertinya membuat pemuda tertampan di sekolah itu menaruh perhatian”, ia dianggap mengada-ngada. Perkataan itu tidak membuatnya bergeser sedikit pun. Bab selanjutnya ia buka, mereka-reka rencana besok lusa. Bab tiga menarik perhatian dengan menyukai apa yang disukai.

Pagi. Sekolah sepi. Ia sengaja datang pagi-pagi sekali. Berlari ke lapangan basket. Di sana pemuda itu berada. Ia menghampirinya, belum beberapa langkah keinginan itu urung. Kesadarannya kembali. Ia tahu, mendekati seseorang yang bukan mahramnya itu dilarang oleh agama. Tak ada yang dapat ia lakukan selain menontonnya membawa bola, melemparnya ke keranjang basket. Itu saja.

Buku panduan ia buka. Mencoret halaman bab tiga. Mulai membaca bab selanjutnya. Saat itulah sebuah bola melayang, berdebam menghantam kepalanya. Ia tak sadarkan diri. Pemuda itu berlari, menghampirinya dengan perasaan was-was. Dibawalah ia ke ruang kesehatan sekolah, lantas pemuda itu pergi, menyuruh temannya yang menjaga.

Hari itu berjalan melelahkan baginya. Beberapa kali mengumpat, mengapa ia yang menjaga, bukan pemuda itu! Ia tidak tahu perihal yang terjadi, yang ia tahu pemuda itu tidak menghiraukannya. Membiarkan orang lain yang menolong, padahal ia yang melempar bola. Hatinya benar-benar berkecamuk oleh kegelisahan. Apakah lelaki hanya suka pada penampilan luar saja? Apa benar rupa itu penting? Tapi tidak, hatinya tidak akan luluh karena masalah itu. Satu hari dari kejadian itu sekolah mengadakan lomba menyanyi. Menyadari suaranya tidak kalah merdu dari pelajar lainnya, ia didaftarkan sebagai delegasi kelas. Semua mendukung. Dengan terpaksa ia pun menuruti keinginan pendukungnya. Dan sampailah hari itu. Seperti kontestan lainnya, ia juga dihias. Betapa terkejutnya berpasang-pasang mata saat melihat penampilannya. Bagaimana tidak, kulit gelap yang membuatnya tampak jelek menjadi cerah seketika. Ia menjadi yang tercantik. Menyadari hal itu, ia memang tidak pernah mencoba merias diri. Baginya memakai kosmetik adalah hal yang menyusahkan. Tapi lihatlah, saat itu ia benar-benar berubah.

Penampilannya cukup memukau, membuat sesak halaman depan panggung. Saat itu matanya berpendar-pendar, menyapu setiap wajah yang ada—mencari pemuda itu, tak ada. Hatinya gundah tapi tidak dengan senyum yang selalu mengembang, menyapa setiap teman yang melambaikan tangan ke arahnya. Siang itu pula lomba berakhir membuat kegembiraan tersendiri. Ia menjadi juara dua, dan saat itulah pemuda tersebut datang mengucap selamat seraya mengulurkan sesuatu.

“Ini untukmu, dari temanku.” Pemuda itu menyodorkan setangkai melati. Lantas membalikkan badan pergi tanpa suara.

Apa yang dikatakan pemuda itu sangat mengecewakan hatinya. Tapi tidak, ia senang karena yang mengantarkan bunga itu adalah dirinya, tak penting itu dari siapa. Sepanjang malam bunga pemberian pemuda itu ia pandangi, melihatnya bagaikan melihat pemuda itu. Tersenyum sendiri, lantas tertidur bersama benda indah itu.

Tak ada yang tahu sampai di mana perjuangannya untuk mempertahankan rasa itu. Kadang godaan ayahnya membuat ia getir. Ayahnya mau tahu saja, melihat ia senyum-senyum sendiri memandangi bunga melati, digoda.

“Bunga dari pacar. Paling juga cinta monyet.”

Ia pun tak menggubris godaan itu. Mana ada monyet pacaran?

Ia tak mau tahu soal itu, malah bertanya enteng, “memang bagaimana caranya menjauhi cinta monyet?”

Yang ditanya nyengir, berkata, “cobalah mencintai kucing atau kelinci”. Itu saja, tak lebih. Jawaban yang membuatnya memonyongkan bibir.

Saat senggang ia biasa mempelajari buku panduan, sudah sampai bab lima. Bab empat tanpa ia sadari telah berhasil. Memikat perhatian laki-laki dengan membuatnya kagum. Bab tiga? Hal yang membuatnya tak sadarkan diri di ujung lapangan basket memberinya harapan. Ia menuntut pemuda itu untuk membiarkannya bergabung dengan tim basket putri. Hal itu mudah saja bagi pemuda itu. Tim putri antusias menerimanya. Bagaimana tidak, timnya kedatangan gadis tercantik di sekolah itu.

Sejauh itu semua berjalan baik. Tak ada masalah hingga kenaikan kelas. Dua tahun berjalan tanpa ada perkembangan yang ia dapat, selain mengenalnya lebih dekat. Buku panduan itu hampir ia tinggalkan di tengah perjalanan—menyadari semua usahanya sia-sia. Ada jarak yang harus dijaga, hal itu membuatnya tak pernah sampai untuk mengungkapkan segalanya, selain memberi isyarat tubuh dan tindakan bahwa ia berharap sesuatu dari pemuda itu. Tapi yang diharap seperti orang bodoh. Pemuda itu tidak pernah mengerti.

Pagi itu semua bab hampir terjejali. Hampir sempurna. Pemuda itu saja yang tidak mau mengerti. Acuh tak acuh mendapati ia memandang dirinya. Tak ada respon apa-apa.

Gadis itu menghela napas panjang. Memasuki bab terakhir, harapan terakhirnya. Mengungkapkan semua perjuangannya yang sia-sia. Sebenarnya bab itu tidak tertera dalam buku tersebut. Sepuluh bab benar-benar tak berguna. Sudah memasuki kelas akhir.

Hari itu, saat selesai ujian yang tinggal menunggu pengumuman kelulusan, tekadnya benar-benar bulat. Lupakan larangan tidak boleh mendekati lelaki yang bukan mahram. Rasa itu benar-benar buncah.

Lorong jalan menuju kelas lengang. Tak ada siapa-siapa selain mereka berdua, masih tetap menjaga jarak. Gadis itu beberapa kali menarik napas panjang. Cukup gugup.

“Ada satu hal yang ingin aku bicarakan,” perkataannya terhenti, menelan ludah seraya mengatur diri setenang mungkin. “Semua cara telah kulakukan, berusaha sekeras, mungkin menjadi yang terbaik, mengerjakan apa yang tak kubisa, memenangkan pertangdingan basket, menjadi mayoret drumband, mempelajarinya sampai sinting, bertingkah sebaik mungkin dan seindah mungkin.” Ia menghirup napas, menjeda perkataannya yang panjang tanpa jeda.

“Semua itu kulakukan untukmu. Aku cinta kamu. Sebenarnya amat sulit untuk mengungkapkan semua ini. Berusaha melenyapkan rasa gengsi tentang persepsi perempuan tidak seharusnya mengungkapkan hal itu duluan. Aku tak perduli itu. Sebab aku benar-benar mencintaimu.”

Buncah sudah. Perasaannya yang berkecamuk terasa lega setelah selesai mengungkapkan semuanya secara sempurna. Pemuda itu benar-benar bungkam. Tak dapat berkata apa-apa.

Sebuah suara melesat, memanggil nama pemuda itu. Seorang perempuan mendekati mereka. Menarik tangan pemuda itu. Pemuda itu pergi tanpa sepatah kata pun. Sempat menoleh sebelum benar-benar lenyap di belokan lorong.

Ia benar-benar terpaku melihat pemuda itu, pergi tanpa jawaban apa-apa. Pemuda itu telah memiliki pasangan. Pengorbanannya benar-benar sia-sia. Gadis itu tersungkur. Menahan tangis, tapi tidak dengan matanya yang dengan paksa menjatuhkan air mata. Perasaannya kacau, sama dengan apa yang sekarang ia rasakan.

***

“Mengapa sekarang...”

Perkataan itu benar-benar mengiris hatinya, perkataan yang sama saat ia mengetahui pemuda itu memiliki pasangan, meninggalkannya tanpa sepatah kata.

“Mengapa selama ini?”

Berkali-kali ia bergumam. Melihat lamat-lamat angka 24 dan 2008 di kertas yang ia pegang. Matanya yang sembab kembali menyapu deretan kalimat yang ada. Membacanya kembali.

“24 Desember 2008. Kusuma. Semoga kau dapat membaca surat ini dengan lengkap. Dan semoga saja aku tidak terlambat. Perlu kau tahu, sebenarnya kau telah berhasil dari bab pertama. Maaf karena aku telah membaca buku panduan yang selalu kau pegang itu, buku dengan sampul putih polos agar tak terbaca judulnya. Buku itu sengaja kubuka. Aku penasaran melihatmu yang ke mana-mana membawanya. Rasa penasaran itu terbayar saat kau tak sadarkan diri karena bola basket lemparanku. Maafkan aku karena sampai saat ini belum sempat mengucapkan kata maaf perihal kejadian itu. Mengingat kejadian yang telah kita lalui membuatku selalu tersenyum. Melihat kelucuanmu melempar tongkat yang tak pernah mendarat mulus di tangan, caramu memantulkan bola basket, loncat-loncat kegirangan saat lemparan berhasil masuk keranjang basket. Aku selalu memperhatikanmu.

Amat sulit untuk mendekatimu. Sadar diriku yang terperangkap dalam janji, perjanjian yang konyol. Ya, benar-benar konyol. Bagaimana tidak? Aku dan Andre—sahabat baikku sejak TK—bersepakat tidak akan mencintai perempuan yang sama. Aku tak ingin melanggar janji itu, demi persahabatan kami.

Aku bisa saja mengungkapkan semua perasaan sukaku padamu. Tapi setiap kucoba selalu berakhir mengecewakan. Contohnya saja saat kusodorkan setangkai melati padamu. Aku malah mengatakan itu bunga dari Andre sebagai ucapan selamat atas kemenangan yang kau dapat, lantas memalingkan diri dengan rasa kacau. Juga saat membawamu ke ruang kesehatan saat kau tak sadarkan diri itu, aku malah membiarkan Andre yang menjaga. Menyadari Andre menyukaimu dan janji kami.

Selama tiga tahun kupendam rasa itu, hanya dapat tersenyum saat mendapatimu tertawa. Kalau ditanya siapa yang paling bahagia saat kau memenangkan pertandingan basket se-Jawa Timur di hari itu? Adalah aku. Kalau ditanya siapa yang paling antusias melihat penampilanmu menjadi mayoret di festival sekolah? Itu aku. Dan kalau ditanya siapa yang paling sakit hati melihatmu bersedih? Itu juga aku. Aku selalu bangga dengan prestasi yang kau dapat. Dan kesalahpahaman di hari kelulusan itu akan kujelaskan. Warda bukan siapa-siapaku, pacar juga bukan. Kami hanya teman. Maafkan aku karena tidak mengiyakan ungkapan cintamu. Sebenarnya aku ingin menghambur diri memelukmu, tapi aku sadar kau tak mungkin terima perlakuan itu. Bagai orang bodoh yang tak bisa menjawab soal aljabar yang diberikan guru di kelas, aku hanya terpaku. Aku pergi tanpa memperdulikanmu yang tak bergerak melihatku pergi bersama Warda. Bodohnya aku tidak menolak ajakannya, membiarkan tanganku diseretnya ke kerumunan teman-teman yang lain.

Sejak hari itu aku benar-benar tak dapat menemuimu untuk menjelaskan semuanya. Dan saat ini aku dapat menulisnya. Maaf karena tak ada kabar di hari pemberangkatanku. Hari itu penerbangan ke Singapura mendadak. Ayah tidak memberi kabar kami akan pindah hari itu.

Semoga kau baik-baik di sana. Salam. Dilimun.”

Perempuan itu melipat kertas yang tadi dibacanya. Memandang langit-langit ruangan. Menahan air mata yang tak dapat ia bendung. Hatinya berkecamuk dengan rasa marah. Memandang datar lelaki yang tidur pulas di belakangnya, lelaki yang telah menyembunyikan surat itu.[]

Sumenep, 19 April 2015.

Labels: 2024, Cerpen

Terima kasih telah membaca Surat Tua Pemberi Melati Cerpen Ali Mukoddas. Kalau Anda suka, bagikan!

0 Comment for "Surat Tua Pemberi Melati Cerpen Ali Mukoddas"

Back To Top